Kyai Haji
Salman Dahlawi, selanjutnya disebut Mbah Salman, adalah pengasuh Pondok
Pesantren Al-Manshur Popongan, Tegalgondo, Wonosari, Klaten. Pondok Pesantren
Al-Manshur merupakan pondok pesantren salafiyah yang didirikan oleh Kyai Haji
Muhammad Manshur, selanjutnya disebut Mbah Manshur. Awalnya nama pondok pesantren
tersebut adalah Pondok Pesantren Popongan, diambil dari nama dusun tempat
pondok pesantren berdiri. Popongan adalah nama dusun di Kalurahan tegalgondo
Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. Dusun yang terletak di Jalan Solo-Yogya,
KM 8 Delanggu tersebut merupakan dusun kecil yang masyarakatnya kebanyakan
bertani.
Pondok
Pesantren Popongan didirikan pada tahun 1926. Pada tanggal 21 Juni 1980,
namanya diubah menjadi Pondok Pesantren Al-Manshur, dinisbatkan pada nama
pendirinya. Mbah Manshur adalah sufi besar dalam tradisi Tarekat Naqsyabandiyah
Khalidiyah. Mbah Manshur mendapat ijazah (attunement) mursyid (guru
spiritual dalam tarekat) dari Syekh Muhammad Hadi Girikusumo, selanjutnya
disebut Mbah Hadi Giri Kusumo. Mbah Hadi adalah khalifah (wakil) Syekh
Sulaiman Zuhdi, mursyid atau spiritual quide Tarekat
Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Makkah al-Mukarramah.
Keberadaan
Kyai Manshur telah menciptakan magnet kuat bagi Popongan, kampung kecil yang
kemudian menjadi pusat Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Jawa Tengah. Dari
Popongan inilah beberapa kyai besar belajar Tarekat dari Mbah Manshur. Di
antaranya adalah Kyai Arwani Kudus, yang memperoleh ijazah untuk mengajar
tarekat tradisi Naqsyabandiyah di Kudus. Putra Kyai Nahrowi, murid Kyai
Muhamamd Hadi Girikusumo, juga mendapat ba’iat dari Mbah Manshur. Dalam
menjalankan upaya bimbingan spiritual, Mbah Manshur dibantu para badal
(pengganti, wakil). Selain Kyai Arwani dan putra Kyai Nahrowi, dalam
menyebarkan tarekat dan dakwah, Mbah Manshur juga dibantu oleh Kyai Abdullah
Hafidz Rembang dan Kyai Hamam Nashir Grabag Magelang.
Mbah Kyai
Manshur juga mengangkat badal dari kaum hawa, yaitu Nyai Muharromah
(Nyai Soelomo Resoatmodjo). Ia mendapat mandat dari Mbah Manshur untuk
menghidupkan suluk (laku spiritual) Tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah di
Kauman Surakarta.
Putra-putri
Kyai Manshur sendiri tidak ada yang meneruskan tradisi Tarekat Naqsyabandiyah,
dan memilih dunia perdagangan. Mbah Kyai Manshur meninggal pada tahun 1957.
Sejak itu, tarekat Naqsyabandiyah dipimpinn oleh Gus Salman, cucunya dari
seorang putri. Gus Salman bukan hanya menggantikan Mbah Manshur dalam posisi
sebagai mursyid tarekat, tetapi juga menggantikan kakeknya sebagai
pengasuh pondok pesantren.
Estafet
kepemimpinan pesantren dan tarekat Naqsyabandiyah sebenarnya sudah disiapkan
beberapa tahun sebelum Mbah Manshur wafat. Pada 1953, ketika Gus Salman berusia
19 tahun, Mbah Manshur membaiatnya sebagai mursyid tarekat. Kyai Salman
dikenal sebagai seorang kyai yang tawadlu’ dan dihormati oleh sejawatnya dari
kalangan kyai, baik di Jawa tengah maupun di berbagai wilayah lainnya.
Kyai Salman
lahir pada 1 Maret 1936. Kyai Salman adalah anak lelaki tertua dari K.H.
Muhammad Muqri bin K.H. Kafrawi dengan Hj. Masfuah Binti Muhammad
Manshur. Mbah Manshur adalah putra Syekh Muhammad Hadi Girikusumo Mranggen
Demak, salah seorang khalifah Syekh Sulaiman Zuhdi, mursyid atau guru
pembimbing Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Makkah.
Salman kecil
memiliki sikap bersahaja. Mbah Kyai Muslimin, orang kepercayaan Mbah Manshur
dan sekaligus kawan akrab Mbah Salman, menceritakan bahwa Salman kecil memiliki
kebiasaan mandi di Sungai Jebol, Tegalduwur, sebelah selatan Dusun Popongan. Di
sungai tersebut Salman kecil dan Muslimin bukan hanya mandi dan bermain, tetapi
juga mengambil kerikil dan mengangkatnya untuk dibawa ke komplek ndalem Mbah
Manshur, yang sekarang menjadi Madrasah tempat pengajian para santri.
Kerikil-kerikil itu sampai sekarang menjadi saksi bisu kesahaja-an Mbah Salman
yang mau bekerja keras untuk memberikan kenyamanan bagi para santri dan tamu
Mbah Manshur.
Sebagai
orang paling akrab dengan Salman kecil, Muslimin mendapat tugas untuk menemani
Salman kecil, bahkan Mbah Manshur berpesan kepada Muslimin untuk jangan
sekali-kali berpisah dengan Salman. Mbah Manshur begitu sayang dengan Salman,
dan menjadikan Salman sebagai orang paling dekat, lebih dekat daripada
putera-puterinya.
Setelah
tamat Sekolah Rakyat di Tegalgondo, Salman kecil tinggal di Kauman Surakarta.
Mbah Manshur membeli tanah di Kauman dan meminta Muslimin yang menjadi badalnya
untuk merenovasi rumah. Muslimin yang memiliki keahlian di bidang bangunan,
menuruti perintah gurunya untuk membangun rumah. Ia sendiri yang menjadi
tukang, dan Salman kecil meladeninya (menjadi laden tukang). Selama di
Kauman, Salman kecil melanjutkan belajar ke Madrasah Sunniyah Surakarta yang
juga menjadi bagian dari lembaga pendidikan Mambaoel Oeloem. Sejak kecil hingga
meninggal, Mbah Salman selalu ditemani Mbah Muslimin. Walaupun umur Mbah
Muslimin sedikit lebih tua dari Mbah Salman, namun ketika Salman berumur
belasan tahun, Mbah Manshur yang waktu itu sakit, berpesan kepada Muslimin
untuk selanjutnya memanggil Salman dengan panggilan “Mas”.Hal ini mengisyaratkan
akan diangkatnya Salman menjadi guru bagi Muslimin dan kawan-kawannya.
Sebelumnya, kawan karib itu memanggil Salman dengan namanya. Ada perhatian
khusus Mbah Manshur terhadap Salman kecil.
Ketika
remaja, Mbah Manshur meminta Muslimin dan Salman untuk melakukan suluk.
Ritual Naqsyabandiyah Khalidiyah ini dilakukan ketika keduanya berumur belasan
tahun. Ketika sedang suluk, Mbah Manshur memerintahkan keduanya
untuk melakukan renovasi Mbah Manshur, sambil melakukan ziarah ke makam para
awliya’.
Ketika
terjadi bumi hangus Popongan oleh agresor Belanda, seluruh keluarga Mbah
Manshur mengungsi ke Kauman Surakarta. Adapun, ayahanda Kyai Salman, Mbah Mukri
bersembunyi di atas atap masjid. Salman kecil bersama Muslimin sering melakukan
jalan kaki dari Kauman ke Popongan, termasuk mengirim makanan ke Mbah Mukri.
Perjalanan dengan jalan kaki dari kauman ke Popongan tersebut hanya berbekal
kacang tanah Muslimin lah yang mengatur perjalanan tersebut, serta kapan Salman
boleh makan kacang.
Kesahajaan
Salman di masa kecil berlanjut huingga Kyai karismatik itu meninggal. Pada masa
muda, ia juga menjadi laden (meladeni) tukang, yaitu Muslimin,
ketika mendapat mandat untuk membangun Pondok Pesantren Sepuh bagi untuk
perempuan. Sebelumnya Mbah Manshur sudah membangun Pondok Sepuh bagi laki-laki.
Kyai Salman
menikah pada tahun 1961 dengan Hj. Muainatun Sholihah. Dari pernikahan ini,
Kyai Salman dikaruniai tiga putra dan lima putri (Musta’anah, Umi Mu’tamiroh,
Munifatul Barroh, Murtafi’ah Mubarokah, Mifathul Hasan, Muhammad Maftuhun
Ni’am, Muhammad Multazam Al Makky dan Maliyya Silmi).
Pada tahun
2000, Nyai Muainatun meninggal dunia. Pada tahun 2001, Kyai Salman menikah lagi
dengan Hj. Siti Aliyah, asal Purwadadi. Sejak kepergian Nyai Muainatun, Kyai
Salman memulai mempersiapkan kaderisasi manajemen pesantren dengan melibatkan
putra-putrinya secara lebih aktif dalam pengelolaan pesantren.
Kyai Salman
dikenal sebagai figure yang ramah, tawadlu’, sederhana, zuhud, dan tidak
materialistik. Ia juga ahli ibadah dan kebajikan. Sikapnya yang ramah terhadap
tetangga, tamu, dan para santri, semakin menambah karisma dan kewibawaannya.
Dengan orang yang lebih tua, ia menghormati. Dengan yang lebih muda, ia mampu
beradaptasi dan ngemong. Tutur katanya halus, sopan, dan tidak
emosional.
Kyai Salman
juga dikenal serbagai figure yang menghormati sejawatnya sesama kyai sepuh di
Klaten, seperti Kyai Siradj (Mbah Siradj) Kadirejo Karanganom, Kyai Muslim
Rifa’i Imampuro (Mbah Lim) Sumberejo Karanganom, dan Kyai Masyhudi (Mbah Hudi)
Karangnongko. Begitu juga dengan para kyai sepuh di luar Klaten.
Walaupun
menjadi seorang mursyid, namun Mbah Salman masih konsisten mengaji
kepada kiai lainnya, dengan cara mendengarkan dan menularkan petuah-petuah dari
para Kyai, meskipun ia sendiri sudah memimpin pesantren dan diangkat sebagai mursyid.
Penulis sendiri menyaksikan sikap Mbah Salman dalam menghormati dan mendengar
wejangan dari kyai sepuh lain, seperti Mbah Sirodj dan Mbah Lim.
Figur yang
amat sederhana, ramah, serta andhap asor (tawadlu’) adalah kesan yang
akan didapati para santri, dan tamu yang dating ke ndalem kiai. Ketika
tidak ada santri di ndalerm, Mbah Salman sendiri yang menbawa baki air
minum untuk disuguhkan kepada para tamunya. Terhadap para santri, Mbah Salman
bida ngemong, dan bersikap humoris
(Foto: K.H. Salman Dahlawi ketika sedang memimpin do’a
dalam acara haul Mbah Manshur)
Pendidikan
Muhammad
Salman Dahlawi menamatkan pendidikan Sekolah Rakyat di Sekolah Rakyat
Tegalgondo Wonosari Klaten. Setelah tamat Sekolah rakyat, Salman kecil
melanjutkan belajar agama di Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta
yang diasuh oleh K H Ahmad Umar Abdul Mannan (Mbah Umar), dan selanjutnya
nyantri di Pondok Pesantren pimpinan K.H. Khozin di Bendo, Pare, Kediri, Jawa
Timur selama kurang lebih empat tahun (1956-1960).
Ia juga
pernah belajar di Madrasah Mamba’oe Oeloem dan Madrasah Soennijah Keprabon
Surakarta, dan beberapa kali nyantri pasan (nyantri khusus bulan
Ramadhan) kepada K.H. Ahmad Dalhar Watucongol Magelang Jawa Tengah. Salman muda
dikenal sebagai sosok yang cinta ilmu, sehingga ia sering ikut program santri
kilat di berbagai pesantren lain, selain yang disebutkan di atas.
Selain
berguru kepada banyak ulama di Jawa, Kyai Salman ketika menunaikan ibadah haji
ke Makkah, sering menyempatkan diri untuk bertemu dan berguru kepada Sayyid
Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, ulama kharismatik di Saudi Arabia. Keilmuan
tasawuf-nya begitu luas dan dalam, sehingga para murid tarekatnya menyebutnya
dengan panggilan Hadhratusy Syaikh Kyai Salman Dahlawi, sebuah sebutan bagi
ahli ilmu kasepuhan dalam dunia tarekat dan Islam tradisional Indonesia.
Di sela-sela
tugasnya sebagai pembimbing spiritual bagi para santri, murid tarekat, dan
masyarakat umum, Mbah Salman juga aktif mengajar sebagai guru di Madrasah
Aliyah Al-Manshur, dan Madrasah Tsanawiyah Al-Manshur. Mbah Salman merupakan
salah satu kyai yang sangat peduli terhadap perkembangan dunia pendidikan
Islam.
Perjuangan
Mengembangan Institusi Pondok Pesantren
Kyai Salman
Dahlawi memimpin pondok pesantren dengan mnanajemen tradisional. Santri yang
mengaji di Pondok Pesantren Al-Manshur pada awalnya hanya khusus ngaji
dengan sistem sorogan dan bandongan (sistem pengajian tradisional di
pesantren). Untuk dapat mengikuti perkembangan zaman, maka sejak tahun 1963
didirikan beberapa lembaga pendidikan formal, yakni Madrasah Diniyyah
Al-Manshur (1964), Madrasah Tsanawiyah Al-Manshur (1963), Madrasah Aliyah
Al-Manshur (1966), dan pada tahun 1980, didirikan Taman Kanak-Kanak Al-Manshur.
Selain
menjadi pengasuh di pondok pesantren, Kyai Salman juga aktif dalam pengembangan
Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Adapun sanad tarekatnya adalah dari Mbah
Muhammad Manshur (kakeknya), dari Syekh Muhammad Hadi Bin Muhammad Thohir
(kakek buyutnya), dari Syaikh Sulaiman Zuhdi, dari Syaikh Ismail Al Barusi,
dari Syaikh Sulaiman Al Quraini, dari dari Syaikh Ad Dahlawi, dari Syaikh
Habibullah, dari Syaikh Nur Muhammad Al Badwani, dari Syaikh Syaifudin, dari
Syaikh Muhammad Ma’sum, dari Syaikh Ahmad Al Faruqi, dari Syaikh Ahmad Al Baqi’
Billah, dari Syaikh Muhammad Al Khawaliji, dari Syaikh Darwisy Muhammad, dari
Syaikh Muhammad Az Zuhdi, dari Syaikh Ya’kub Al Jarkhi, dari Syaikh Muhammad
Bin Alaudin Al Athour, dari Syaikh Muhammad Bahaudin An Naqsabandy, dari Syaikh
Amir Khulal, dari Syaikh Muhammad Baba As-Syamsi, dari Syaikh Ali Ar Rumaitini,
dari Syaikh Mahmud Al Injiri Faqhnawi, dari Syaikh Arif Riwikari, dari Syaikh
Abdul kholiq al Ghajwani, dari Syaikh Yusuf Al Hamadani, dari Syaikh Abi Ali
Fadhal, dari Syaikh Abu Hasan Al Kharwani, dari Syaikh Abu Yazid Thaifur Al
Busthoni, dari Syaikh Ja’far Shodiq, dari Syaikh Qosim Muhammad, dari Syaikh
Sayyid Salman al Farisi, dari Sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq, dari Sayyidil
Mursalin Rasulllah SAW.
Dalam
melaksanakan tugas-tugas spiritual sebagai mursyid tarekat, Kyai Salman
banyak dibantu para badal Dari pusat informasi pesantren didapat informasi
nama-nama badal Kyai Salman. Mereka adalah para poutra dan
menatunya, yaitu KH. Ahmad Mufrod Teguh Mulyo (Rektor Universitas Nahdlatul
Ulama) dan lurah PP. Al-Manshur Popongan Tegalgondo Klaten, Kyai M. Maftuhun
Ni’am, Kyai Miftahul Hasan, dan Gus Multazam. Mereka tinggal di Dusun Popongan,
dan aktif mengajar di Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan Tegalgondo Klaten.
Badal lainnya adalah KH. Moch Rodli
Ngabean Purwodadi Grobogan, KH. Ahmad Khusnan Gareh Ngabenrejo Grobogan, KH.
Ahmad Fathoni Tanggungharjo Grobogan, KH. Moch. Cholil Klambu Grobogan, K. Moh.
Cholil Kayen Godong Grobogan, K. Moh. Ma’at Kluwan Penawangan Grobogan,
KH. Muhadi Kluwan Penawangan Grobogan, K. Misbahul Munir Pojok Winong
Penawangan Grobogan, K. Solihin Pojok Winong Penawangan Grobogan, K. Danuri
Karangpaing Penawangan Grobogan, K. Muhaimin Karangpaing Penawangan Grobogan,
KH. Jamalin Wandan Kemiri Klambu Grobogan, KH. Zuhdi Wandan Kemiri Klambu
Grobogan, KH. Marzuki Goleng Klambu Grobogan, KH. Ahmad Yasa’ Kec. Tanggungharjo
Kab. Grobogan, KH. Hasan Anwar Kec. Tanggungharjo Kab. Groboga, K. Mukmin Sarwi
Tunggak Toroh Grobogan, K. Asykuri Jetis Karangrayung Grobogan, KH. Ali Ahmadi
Tanggungharjo Grobogan, K. Munawir Gangin Jetaksari Pulokulon Grobogan, K.
Muslim Gangin Jetaksari Pulokulon Grobogan, K. Ahmad Sirin Pancan Getasrejo
Grobogan, K. Ali Mashud Rejosari Grobogan, K. Rosyidi Nglayapan Purwodadi
Grobogan, KH. S. Abdul Latif Selo Tawangharjo Grobogan, KH. Zaenuri Godong
Grobogan, K. Imam Taqwa Mojoagung Karangrayung Grobogan, K. Musmin Amin Termas
Karangrayung Grobogan, KH. Muhammad Masruri Dukoh Gubug Grobogan, K. M.
Nuruddin Busyro Pahesan Godong Grobogan, K. Sonhaji Karanggeneng Godong
Grobogan, K. Sudarto Sono Toroh Grobogan, K. M. Habibulloh Ngabean Purwodadi
Grobogan, K. Habib Hasyim Hasbulloh Wirosari Grobogan, K. Anwaruz Zaman
Nglumpang Rejosari Grobogan, K. Abdur Rosyid dan KH. Ulin Nuha Jono Tawangharjo
Grobogan.
Di Demak,
Mbah Salman dibantu oleh beberapa badal, yaitu KH. Mastur Pasir Mijen
Demak, KH. Abdul Halim Menco Wedung Demak, K. Kurdi Muhsin Kendal Doyong
Wonosalam Demak, K. Abdul Afif Jungpasir Wedung Demak, K. Abdur Rosyad
Jungpasir Wedung Demak, KH. Muhsinin Jogoloyo Wonosalam Demak, KH. Ruba’i
Turirejo Demak, KH. A. Chusain Nuri Galan Mangunrejo Demak, dan Kyai Ulil Albab
Bakung Bumiharjo Guntur Demak.
Adapun badal
Mbah Kyai Salman di Kabupaten Ngawi adalah KH. Imam Rofi’i Jambangan Paron
Ngawi, KH. Masduki Teguhan Paron Ngawi, KH. Muqorobin Teguhan Paron Ngawi, KH.
Mu’in Mantingan Ngawi, dan K. Ahmad Hamam Mantingan Ngawi.
Mbah Kyai
Salman juga memiliki badal di daerah lain, seperti, KH. Masyhuri Mlonggo
Jepara, KH. Taufiqul Hakim Bangsri Jepara (pengarang kitab Amtsilati),
KH. Hasan Asy’ari Nyatnyono Ungaran Semarang, Drs. H. M. Ali Imron, M.Pd.I Sugihan
Andong Boyolali, KH. Daromi Salam Manggis Boyolali, K. Joko Murjito Sambi
Boyolali, K. Muslimin Juwiring Klaten, K. Muhadi Karanganom Klaten, KH. Labib
Muhammad Talok Woh Mojo Ngawen Blora, K. M. Burdah Mahmudi Sialang Indah
Pelalawan Riau, KH. Zaenal Tambi Wonosobo, dan K. Sulaiman Affandi Kediri.
Sebelum
meninggal, Mbah Salman sudah menyiapkan kader pengganti, baik sebagai pengasuh
pesantren maupun mursyid thariqah, yaitu Gus Multazam (35 tahun). Gus Multazam
adalah putra ketujuh, lahir di Mekah Sebelumnya ia tampil sebagai badal sebagai
imam shalat dan beberapa pengajian, baik di dalam pondok maupun di masyarakat
Menurut informasi dari Kyai Dian Nafi, Gus Multazam juga menggantikan Kyai
Salman dalam posisi sebagai mursyid
Santri-santri
Pondok Pesantren Al-Manshur saat ini (tahun 2013) jumlahnya kurang lebih
700-an, sedangkan alumninya sudah mencapai ribuan, namun belum ada data pasti
berapa puluh ribu alumni. Santri yang datang mondok kebanyakan dari daerah
Grobogan, Purwadadi, Demak, Klaten Beberapa di antaranya dari Cilacap, Jakarta,
dan berbagai daerah di Jawa Timur. Beberapa santri asal Sumatera juga tercatat
di database sekretarian pesantren.
Sekarang
(tahun 2013) Pondok Pesantren Al-Manshur memiliki empat komplek, yaitu Pondok
Sepuh (Zawiyah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah) dan Pondok Pesantren
Al-Manshur Putra, yang diasuh oleh Mbah Salman yang diteruskan putranya, Gus
Multazam Al-Makki. Adapun Pondok Pesantren Al-Manshur Putri, diasuh oleh Kyai
Achmad Djablawi, kakak ipar Kyai Salman, dan Pondok Pesantren Al-MAnshur Putri
II, diasuh oleh Kyai Nashrun Minalloh, adik kandung Mbah Salman.
Kepergian
Sang Mursyid
Pada tanggal
27 Agustus 2013, pukul 17.45 WIB, Mbah Salman wafat dalam usia 78
tahun. Sebelumnya kyai yang tawadlu’ tersebut sempat dirawat intensif di Rumah
Sakit Islam Surakarta (RSIS) Surakarta selama seminggu. Kyai sepuh ini terkena
gangguan pencernaan sejak tanggal 17 Agustus Sebelum dirawat di RSI tanggal 18
AGustus, Mbah Salman sempat dirawat sehari di PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten.
Mbah Salman meninggalkan seorang istri, delapan anak, dua puluh tiga cucu, dan
dua buyut.
Belum ada
keterangan tentang risalah atau kitab yang ditulis oleh Kyai Salman Dahlawi,
namun wasiatnya yang sempat diingat oleh putera-puteri dan santri-santrinya
antara lain adalah : 1) Podo manuto ing pitutur, 2) Iman, taqwa lan syukur
marang Allah SWT, 3) Ngemen-ngemenke ngluru ilmu nafi’, 4) Sregep jamaah,
5) Entheng ngamal ibadah, 6) Nrimo ing peparinge kang kuoso, 7) Ojo ngentengake
utang, 8) Ngalah ing bab donyo, 9) Sabar, usaha, pasrah, tawakal marang Allah
SWT, 10) Birrul walidain lan njogo rukune paseduluran, dan 11) Kabeh perkoro
tumuju marang ridhone Allah SWT. Wasiat tersebut diungkapkannya di
Popongan, pada 12 Januari 2013. Wasiat lain yang sering disampaikan
kepada para santri dan ajama’ah adalah untuk konsisten (istiqomah) mengikuti
jama’ah sholat lima waktu.
Ribuan orang
hadir dalam pemakaman kyai karismatik ini sejak malam hari sebelum dimakamkan.
Mereka adalah para kyai dan pengasuh pondok pesantren di Jawa, kaum nahdliyyin,
para alumni Pondok Pesantren Al-Manshur dan lembaga pendidikan di Yayasan
Al-Manshur, para pejabat pemerintah, dan masyarakat umum. Mbah Salman
dimakamkan di pemakaman keluarga (Keluarga Besar Bani Manshur) di Dusun
Popongan Desa Tegalgondo Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten.
Peran Sosial
Mbah Salman,
begitu dia biasa dipanggil oleh para santrinya, merupakan mursyid
Thariqah Naqsabandiyyah-Khalidiyyah yang cukup dikenal kaum nahdlliyyin dan
kaum tarekat pada umumnya.Ia juga tercatat menjadi anggota
Majelis Ifta’ (Majelis Fatwa) di Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah
An-Nahdliyah (JATMAN). Selama hidup beliau juga pernah menjabat sebagai Rais
Syuriyah dan Mustasyar di Nahdlatul Ulama (NU).
Selain di
organisasi-organisasi tersebut, Mbah Salman memiliki banyak peran di masyarakat
Ia dikenal sebagai da’i yang mau turun gunung, memberikan taushiyah dan
pengajian. Ia banyak melakukan islamisai masyarakat terutama di wilayah Klaten.
Dakwah yang dipraktekkan adalah dakwah bil hal, dan lebih pada peningkatan
kualitas dakwah. Sikap dakwahnya begitu moderat sehingga banyak masyarakat
mengaguminya, termasuk kaum abangan.
Islamisasi
di Klaten tidak dapat dilepaskan dari peran Mbah Salman. Begitu juga
wakil-wakilnya di berbagai daerah juga melakukan islamisasi. Mbah Kyai Salman,
secara langsung atau tidak langsung telah berperan dalam proses islamisasi di
Jawa Tengah, dan beberapa daerah lainnya. Ia juga dikenal sebagai Kyai yang
sering mengunjungi santri dan masyarakat dan memberikan do’a. Tidak jarang mengganti
nama-nama santri dan warga masyarakat yang dipandang kurang baik, atau
mengganti nama yang baik menjadi lebih baik.
Sepengetahuan
penulis yang pernah nyantri selama tiga tahun di Pondok Pesantren Al-Manshur
Popongan, setiap santri baru yang namanya kurang “baik” biasanya langsung
diganti atau diberi tambahan, menjadi nama yang baik, atau lebih baik. Mbah
Salman banyak memberikan nama tambahan “penghambaan” atau ‘abd, seperti
Abdullah, Abdul Hadi, Abdul ‘Adzim, Abdur Razaq, Abdul Rahman, dan sebagainya.
Kyai Salman
juga sering memberikan pelajaran fikih di berbagai daerah di Kabupaten Klaten
dan dearth sekitarnya. Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah ini juga
menjadi rujukan dalam masail diniyyah jika terjadi perselisihan pendapat
di antara warga masyarakat. Di Pondok Pesantren Al-Manshur, Mbah Salman lebih
sering mengajarkan akhlaq dan tauhid, sedangkan di Pondok Sepuh (Zawiyah
Tarekat), ia mengajarkan tasawuf dan suluk Naqsyabandiyah-Khalidiyah.
Peran sosial
kemasyarakatan dan keagamaan Kyai Salman di luar Klaten banyak dibantu oleh
para badal, alumni santri, dan juga para menantunya yang juga mengasuh pondok
pesantren, seperti Kyai Najib Abdul Qodir, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak
Yogyakarta, Kyai Zubaduz Zaman, pengasuh Pondok Pesantren al-Islah Kediri,
dan Kyai Dian Nafi’, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayad Windan Sokoharjo.
Peran social
Mbah Salman yang lain adalah upaya yang ulet dalam mengembangkan pertanian di
Dusun Popongan bersama dengan para petani di dusun tersebut. Mbah Salman, di
mata para petani Popongan dikenal sebagai petani yang tekun.
Peran sosial
politik kebangsaan juga diperankan oleh Mbah Salman, yakni dengan memberikan
nasihat kepada para pejabat, politisi, birokrat di Kabupaten Klaten maupun di
daerah lain, terutama dalam soal menjaga moralitas dan menata masyarakat. Mbah
Salman juga aktif dalam memberikan nasihat bagi masyarakat dalam soal-soal amar
ma’ruf nahi munkar.